Sejarah yang (Belum) Menjadi Identitas

 Disclaimer : Tulisan ini merupakan repost dari tulisan saya di Kompasiana


Tentara Mengiringi Orang- Orang yang Dituduh Terkait PKI. Sumber : Perpustakaan Nasional RI via Historia.id 

Setiap entitas punya sejarah. Entah itu asal usul atau peristiwa yang telah terjadi dimasa lalu. Begitu juga dengan manusia dan bangsa atau negara. Setiap akhir bulan September, bangsa Indonesia memperingati salah satu peristiwa yang bersejarah. Ada yang menyebutnya Gerakan 30 September atau G30S. Yang lain menyebutkan Gestok atau Gerakan Satu Oktober dan ada juga Gestapu.

Soeharto dan Sejarah Gestapu

Peristiwa Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) yang terjadi pada tahun 1965 adalah salah satu sejarah yang penting dan kelam. Kita kerap memperingatinya tetapi belum memahami sejarahnya dengan benar dan utuh. Saking tidak pahamnya, sampai sekarang kita masih ribut dan bertengkar hanya karena mendengar PKI (Partai Komunis Indonesia) atau yang berbau komunis.

Harus diakui, Soeharto atau rezim orde baru (orba) punya kelebihan yang luar biasa. Selama berkuasa tiga dekade lebih, Soeharto telah berhasil melakukan  pembodohan kepada bangsa Indonesia. Banyak sejarah atau masa lalu bangsa Indonesia, termasuk Gestapu, berhasil dimanipulasi oleh Soeharto. Soeharto telah mewariskan suatu bangsa yang takut kepada hantu PKI dan membuat sebagian orang Indonesia membenci keturunan PKI. Bahkan, warisan Soeharto kini menjadi komoditas politik yang paling laku selain agama. Sejarah dibengkokkan oleh rezim Soeharto hanya untuk kepentingan kekuasaannya. Film Pengkhianatan G30S/PKI yang laris dan fenomenal merupakan propaganda dari rezim orde baru.

Poster Film Pengkhianatan G30S/PKI. Sumber: detik.com


 

Sejarah setelah Orde Baru

Setelah Soeharto lengser melalui gerakan Reformasi 1998 hingga pemerintahan Jokowi sekarang, masih banyak sejarah bangsa Indonesia yang belum ditulis dengan benar dan utuh. Kalaupun sudah ada, masih belum mengubah mindset dan perilaku bangsa Indonesia. Tidak percaya? Kita akan lihat dengan beberapa contoh sederhana.

Kalau kita ditanya, mana yang tepat dari pernyataan Soekarno : Pertama, jangan sekali- kali meninggalkan sejarah atau yang kedua, jangan sekali- kali melupakan sejarah?. Menurut Sejarawan Rushdy Hoesein, masih banyak yang menganggap bahwa bahwa ucapan Soekarno, yang merupakan judul pidatonya, pada tanggal 17 Agustus 1966 adalah jangan sekali- kali melupakan sejarah. Padahal, yang tepat adalah yang pertama. Mengapa bisa keliru? Karena, sebagian besar diantara kita tidak mengetahui sejarah dibalik ucapan Soekarno tersebut. Kedengarannya sepele, tetapi kata “meninggalkan” memiliki makna yang berbeda dengan “melupakan”. Kalau maknanya berbeda, dampaknya adalah kita akan kehilangan esensi dan konteks dari pernyataan Soekarno tersebut.

Selain itu, masih banyak yang menganggap bahwa Jas Merah yang merupakan akronim dari jangan sekali- kali meninggalkan sejarah, berasal dari mulutnya Soekarno. Padahal, Jas Merah adalah istilah yang muncul dari Kesatuan Aksi 66 sebagai respon terhadap pidato Soekarno pada saat itu.

Contoh yang berikutnya. Kalau ditanyakan kepada kita, berapa lama bangsa Indonesia dijajah Belanda?. Pelajaran sejarah yang dulu kita terima dan percaya, mungkin sekarang juga, adalah kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Sejarawan G.J Resink lewat bukunya Bukan 350 Tahun Dijajah, memberikan bukti bahwa Indonesia tidak dijajah Belanda selama 3,5 abad. G.J Resink mengatakan bahwa bangsa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun adalah mitos. Karena tidak ada satupun wilayah Indonesia yang benar- benar dijajah selama 350 tahun. Lagipula, Indonesia baru saja “lahir” pada tahun 1945, karena sebelumnya bernama Hindia Belanda.

Buku Bukan 350 Tahun Dijajah. Sumber: komunitasbambu.id


 

Tiga contoh diatas adalah sedikit bukti yang menunjukkan bahwa kita masih buta sejarah. Selain karena ulah rezim orde baru dan belum masifnya penulisan sejarah bangsa yang utuh dan benar, banyak orang Indonesia yang sebenarnya tidak tertarik untuk mempelajari sejarah. Misalnya lagi, ketika belajar teori gravitasi Newton, kita hanya berminat kepada teori dan formulanya. Kita enggan mengulik bagaimana sejarahnya seorang Isacc Newton menemukan teori gravitasi. Yang kita bayangkan selama ini, Fisikawan besar asal Inggris Raya itu mendapatkan ide gravitasi setelah buah apel jatuh diatas kepalanya. Sejarah Fisika Klasik tidak pernah mencatat peristiwa yang demikian.

Bagaimana dengan kurikulum pendidikan dan buku sejarah?. Kurikulum pendidikan dan buku sejarah di sekolah masih didominasi oleh sejarah yang ditulis oleh penguasa orde baru. Begitu juga buku- buku sejarah di sekolah, kebanyakan masih sebatas dogma dan doktrin yang harus dihafal.

Sikap Manusia terhadap Sejarah

Terlepas dari faktor diatas, sebenarnya manusia memang payah kalau berurusan dengan yang namanya sejarah. Secara umum, setidaknya ada tiga sikap manusia terhadap sejarah.

Sikap yang pertama adalah tidak peduli. Bisa dikatakan, tidak peduli artinya tidak berminat atau tertarik sama sekali dengan sejarah. Mengapa orang tidak peduli dengan sejarah?. Banyak alasan mengapa seseorang tidak peduli dengan sejarah. Tetapi, biasanya karena tidak suka dan menganggap bahwa sejarah tidak penting. Orang yang tidak peduli sejarah pasti tidak akan tahu kebenaran dan fakta yang telah terjadi dimasa lampau. Artinya, orang yang tidak peduli sejarah adalah orang yang tidak tahu sama sekali tentang sejarah. Kalau kita tidak peduli dengan sejarah, kita pasti akan mencibir laki- laki yang mengenakan pakaian berwarna pink. Kita cenderung menghakiminya aneh dan tidak sesuai dengan hakikatnya. Padahal, dalam sejarahnya warna pink adalah simbol maskulin. Di tahun 1930-an, warna pink adalah warna laki- laki.

Orang yang tidak peduli sejarah, biasanya akan berpikir bahwa mempelajarinya adalah buang- buang waktu dan tidak ada gunanya mengungkit masa lalu. Biasanya orang yang demikian adalah orang yang gampang lupa diri, sulit menemukan pijakan yang tepat dan cenderung mengulangi kesalahan yang sama.

Sikap yang kedua adalah tidak (mau) mengakui. Orang yang memiliki sikap tidak mengakui sejarah bisa jadi telah mengerti sejarah. Mau mengerti sejarah atau tidak, ia akan sulit mengakuinya dan memilih menyangkal kebenaran dari sejarah. Mengapa demikian?. Karena, orang yang tidak mengakui fakta dan kebenaran masa lalu biasanya memiliki atau pernah mengalami masa lalu yang pahit dan buruk. Ia bisa menjadi pelaku atau korban dari sejarah itu. Sejarah yang seperti itu dianggap merugikan dan memalukan. Terlalu menyakitkan dan menyedihkan untuk sekedar dibahas. Dia mengerti peristiwa masa lalunya tetapi menyangkalnya. Masa lalu yang demikian buruk dan gelap sehingga ia memilih menutupinya atau memanipulasi fakta, baik sebagian atau keseluruhan.

Orang yang memiliki respon tidak mengakui sejarah cenderung tidak mau bertanggung jawab atas fakta yang telah terjadi dimasa silam. Seperti itulah sikap seseorang yang tidak mau mengakui punya mantan yang selingkuh. Dia mungkin masih menyimpan rasa sakit hati dan menyalahkan mantannya. Tetapi, ia melupakan satu hal penting, yaitu tidak mau mempelajari masa lalu (sejarah) calonnya sebelum jadian atau menikah. Atau bisa jadi, ia sebenarnya sudah tahu masa lalu calonnya yang tukang selingkuh, tetapi menyangkalnya karena menilai bahwa itu bukan masalah yang besar dan yakin calonnya pasti akan berubah.

Yang terakhir adalah tidak mau belajar dari sejarah. Sikap ketiga ini bisa jadi adalah orang yang sebatas memahami sejarah dan mengakuinya. Tetapi ia sulit atau tidak mau belajar dari sejarah. Salah satu sebabnya adalah tidak memahami sejarah dengan utuh. Sehingga, apa yang diakuinya dari sejarah bersifat bias. Orang yang memiliki respon seperti ini biasanya hanya mau menerima masa lalu yang baik dan indah saja. Mengabaikan fakta masa lalu yang buruk, yang sebenarnya melekat sebagai bagian yang tak terpisahkan. Akan tetapi, ada juga orang yang tidak mau belajar dari sejarah meskipun telah memahami sejarah dengan utuh dan menerima semua fakta sejarah, baik dan buruk. Mengapa? karena manusia memang seperti itu. Filsuf besar Jerman, Friedrich Hegel pernah menulis bahwa satu- satunya hal yang manusia pelajari dari sejarah adalah manusia tidak belajar apa- apa dari sejarah.

Sejarah telah mencatat, eksploitasi hutan dan alam secara masif demi mengejar pertumbuhan ekonomi hanya menyisahkan krisis iklim dan bencana alam. Bukan hanya itu, munculnya wabah juga dimulai dari rusaknya ekosistem alam liar. Manusia sudah tahu akibatnya tetapi masih saja dilakukan. Kita hanya mau ekonomi tumbuh tinggi tetapi tidak mau bertanggung jawab atas kerusakan bumi. Sejarah juga mencatat bahwa batu bara merusak lingkungan, tetapi pembangkit listrik di Indonesia sebagian besar masih bersumber dari batu bara.

Riwayat Gestapu di Masa Kini

Lalu, bagaimana dengan sikap kita sebagai orang Indonesia terhadap peristiwa Gestapu?. Banyak diantara kita yang masih percaya dengan cerita didalam film Pengkhianatan G30S/PKI. Mengapa? karena kita tidak peduli dengan sejarah. Kita tidak mau mempertanyakan kebenaran dari film tersebut. Kita mudah didogma atau diindoktrinasi melalui film Pengkhianatan G30S/PKI. Tidaklah mengherankan bila ada orang yang percaya dan reaktif saat muncul isu yang mengatakan bahwa si A adalah anak atau keturunan PKI. Pun, munculnya isu kebangkitan PKI adalah bukti dari ketidaktahuan kita akan fakta sejarah.

 

Ilustrasi Palu dan Arit. Sumber: historia.id


Peristiwa Gestapu tidak bisa dipisahkan dari pembantaian massal pada tahun 1965-1968. Karena dua peristiwa itu saling berkaitan. Namun, nyatanya sampai sekarang banyak yang menyangkalnya, termasuk negara atau pemerintah. Sudah ada saksi, baik korban dan eksekutor, serta bukti kuburan massal korban pembantaian massal peristiwa 1965-1968. Tidak semua yang dibunuh adalah simpatisan PKI. Sejarah pembantaian massal itu tidak lain dan tidak bukan adalah peristiwa “bersih- bersih” ala Soeharto. Menurut banyak Sejarawan, korban pembantaian massal 1965-1968 setidaknya mencapai satu juta orang. Belum lagi jumlah orang yang menjadi korban tahanan politik karena dianggap antek atau mendukung komunis.

Negara pada saat itu terlibat langsung dan belum mau bertanggung jawab sampai hari ini. Kita (termasuk negara) tidak mau mengakuinya karena sejarah itu adalah aib yang memalukan. Orang Indonesia, rezim orde baru dan pendukungnya, membunuh sesamanya sendiri demi kekuasaan dan kebencian. Sampai sekarangpun, mereka yang keturunan dari korban 1965-1968 masih dicap sebagai pengkhianat bangsa. Tidak hanya itu, propaganda bangkitnya komunis atau PKI dan logo arit palu sangat laris sebagai barang dagang dalam konstelasi politik. Kita adalah bangsa yang ahistoris. 

Sejarah Sebagai Identitas Bangsa

Kita bukanlah bangsa yang luhur ketika hanya mau merayakan sejarah kemerdekaan 1945 tanpa menyelami dan meluruskan sejarah kelam 1965-1968. Jangan harap kita bisa menjadi bangsa yang besar bila kita tidak mau memahami, mengakui dan menyelesaikan sejarah 1965-1968. Hanya dengan cara itu, kita bisa belajar dari sejarah dan tidak mengulangi kesalahan yang sama dimasa depan.

Adalah suatu anomali ketika bangsa ini mau mengejar impian Indonesia maju pada tahun 2045, tetapi punya utang sejarah yang belum lunas. Ingin berlari ke masa depan tetapi ada beban masa lalu dipundaknya. Kita harus belajar dari negara Jerman dan Jepang. Jerman dan Jepang menjadi negara besar, antara lain, karena dua negara itu telah belajar dari masa lalunya. Walaupun belum sepenuhnya, Jerman dan Jepang telah mengakui dan menuntaskan sejarah kelamnya dimasa lalu.

Sebagai bangsa, peranan sejarah sangat penting sebagai identitas nasional. Barangkali, salah satu yang membuat kita sulit menerapkan nilai- nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimasa sekarang adalah karena kita telah meninggalkan sejarah bangsa.

Baik atau buruk peristiwa sejarah, tetap saja sejarah itu telah mewarnai identitas bangsa Indonesia. Kita tidak bisa menyangkal sejarah yang gelap seperti peristiwa 1965-1968, karena itu melekat dan membekas dalam perjalanan bangsa. Diperlukan sikap yang terbuka, jujur dan mau belajar. Karena, melalui sejarah kita belajar menjadi bijak. Sejarah adalah pijakan kita (bangsa ini) untuk melangkah ke masa depan agar tidak kehilangan identitas.


Komentar