Politik Tanpa Kemanusiaan

 Disclaimer : Tulisan ini merupakan repost dari tulisan saya di Kompasiana

Ilustrasi Pilkada Tidak Ditunda. Sumber : Facebook Mice Cartoon.

Menurut Filsuf Yunani Kuno, Aristoteles, politik esensinya adalah untuk mewujudkan kebaikan bersama. Cara yang lazim untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut adalah dengan berkuasa.

Sederhananya, politik adalah usaha mewujudkan kebaikan bersama melalui kekuasaan. Di alam demokrasi, kekuasaan diberikan kepada orang yang mendapat mandat dari rakyat. Dalam politik praktis, tidak ada orang yang tidak punya hasrat atau keinginan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Keinginan itu tidaklah salah selama tidak kehilangan esensi dari politik.

Politik Hanya Untuk Kekuasaan

 Yang menjadi persoalan adalah ketika tujuan dan cara dalam berpolitik sudah kebolak- balik dari nilai (value) yang seharusnya. Dengan kata lain, dalam praktiknya politik sudah kehilangan esensi. Pergeseran nilai dalam berpolitik terjadi ketika manusia telah kehilangan esensinya sebagai manusia, yaitu memberi manfaat bagi sesama. Artinya, politik telah kehilangan rasa kemanusiaan

Saat ini orang berpolitik hanya ingin meraih kekuasaan, meskipun mulutnya berkata untuk mengabdi. Berkuasa atau menjadi bagian dari kekuasaan adalah tujuan politiknya, bukan lagi sebagai cara untuk mencapai tujuan. Lalu, caranya bagaimana?. Yaitu mengobral janji dan sumpah jabatan untuk kebaikan rakyat, bangsa dan negara. Semua janji dan perkataan untuk mengabdi demi bangsa dan negara sudah menjadi mitos politik. Karena yang ada sekarang ini adalah para pemimpin berpolitik demi perutnya sendiri dan kelompoknya.

Di masa pandemi Covid-19 ini, mewujudkan kebaikan bersama adalah mengutamakan kesehatan dan keselamatan rakyat. Dengan kata lain melindungi segenap warga negara. Itu fungsi negara dan tanggung jawab pemimpin yang diberi mandat untuk mengelola negara sesuai konstitusi.

Orang yang memegang kekuasaan politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) punya kapasitas yang istimewa dan sangat besar untuk mewujudkan kebaikan bersama. Tapi sayangnya, menemukan praktik dan contoh yang demikian selama pandemi adalah hal yang nyaris mustahil.

Tetap dilaksanakannya pemilihan kepala daerah (Pilkada) dengan embel- embel tetap menerapkan protokol kesehatan, menunjukkan bahwa politik hanya untuk kekuasaan. Tujuan luhur dari politik hanya sebagai etalase dan tagline. Bagi mereka, kekuasaan adalah segalanya.

Mereka membutuhkan suara rakyat pada Pilkada yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020, tetapi menutup telinga terhadap suara aspirasi rakyat. Mengatasnamakan hak konstitusi rakyat agar Pilkada tetap digelar, padahal hak rakyat untuk mendapatkan rasa aman dan kesehatan yang menjadi kewajiban negara belum dipenuhi seutuhnya.

Keculasan para pemimpin memperlihatkan betapa besarnya birahi untuk berkuasa. Mereka menggunakan politik bahasa untuk memperdaya rakyat. Mereka memainkan data jumlah kematian orang setelah terinfeksi Covid-19. Perbedaan data kematian Covid-19 antara Kementerian Kesehatan dan Lapor Covid-19 sangat besar. Para pemimpin negeri ini selalu mengatakan bahwa pemerintah konsisten dan fokus pada kesehatan agar ekonomi kembali membaik, namun menunda Pilkada saja tidak mau.

Kebijakan pembatasan sosial seperti PSBB atau apapun namanya, dijalankan dengan setengah hati. Para pemimpin meminta kita untuk tetap di rumah, namun negara tidak mau menanggung biaya hidup rakyat yang terdampak pandemi. Pemerintah dan DPR benar- benar tidak punya niat dan keseriusan sama sekali untuk mengendalikan pandemi. Hal ini semakin terlihat dari menurunnya jumlah anggaran kesehatan untuk tahun 2021. Dari 212,5 triliun rupiah tahun ini menjadi hanya 169,7 triliun rupiah. Katanya fokus pada kesehatan, tapi anggaran yang dinaikkan bukan pos kesehatan tetapi malah infrastruktur.

Semakin meningkatnya jumlah orang yang positif Covid-19 dan meninggal, termasuk dua Komisioner KPU positif Covid-19 dan tiga calon kepala daerah yang meninggal, tidak juga membuat mereka menunda Pilkada. Para pemimpin yakin protokol kesehatan akan dijalankan. Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) RI justru menemukan banyak pelanggaran. Pada hari kedua kampanye, Bawaslu RI menemukan ada sepuluh kampanye pasangan calon Pilkada yang tidak menerapkan protokol kesehatan, termasuk kampanye menantu Jokowi di Medan. Jangan heran bila angka positif Covid-19 akan semakin meningkat selama Pilkada 2020. Dan jangan kaget juga bila nantinya rakyat yang akan menjadi kambing hitam bila Pilakda 2020 menjadi klaster penyebaran virus.

Sebenarnya, kalau dipikir- pikir, tidak terlalu sulit menemukan motif Pemerintah dan DPR yang tetap ngotot melaksanakan Pilkada tahun ini. Apapun dalih dan dalil mereka, kepentingannya cuma satu, yaitu untuk mempertahankan kekuasaan dan memuluskan dinasti politik. Dari 270 daerah yang menggelar Pilkada, ada 200 daerah yang diikuti oleh petahana. Beberapa diantara kontestan Pilkada juga berkaitan dengan tokoh dan partai politik yang berkuasa saat ini.

Pemimpin dan partai politik pasti sudah punya kalkulasi sendiri agar jagoannya menang “mudah” ketika Pilkada dilaksanakan ketika pandemi. Tujuan akhir dari semua itu tak lain dan tak bukan adalah untuk mempermudah meraih kekuasaan di tahun 2024. Pilkada 2020 merupakan momentum penting untuk mengamankan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden tahun 2024. Ini juga alasannya mengapa pemilihan kepala desa (Pilkades) bisa ditunda tetapi Pilkada tidak. Karena Pilkades tidak terlalu berpengaruh terhadap kepentingan mereka.

Logika apapun yang dipakai, termasuk Pilkada tetap dijalankan agar ekonomi bisa bergerak, sebenarnya tidak masuk akal. Kalaupun untuk menggerakkan ekonomi, pertanyaannya adalah ekonomi siapa?. Banyak rakyat yang kehilangan pekerjaan dan mengalami kesulitan secara ekonomi selama pagebluk. Sudah jelas, kepentingan ekonomi yang dimaksud adalah untuk kepentingan oligarki. Sulit untuk mengabaikan peran pengusaha dibalik semua kebijakan pemerintah selama menangani pandemi. Politisi dan pengusaha bekerja sama untuk kepentingannya dengan mengatasnamakan rakyat.

Politik Untuk Kemanusiaan

Apakah kita masih percaya ketika kampanye, calon kepala daerah berjanji memperjuangan kepentingan rakyat?. Bagaimana mungkin mereka bisa mementingkan rakyat kalau masih calon kepala daerah saja sudah tega membiarkan banyak orang tertular?

Sumber : Twitter Jaringan Gusdurian.


 

Tanpa kemanusiaan, politik tidak memiliki makna sama sekali. Gus Dur pernah bilang, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Untuk mewujudkan kebaikan bersama, termasuk kemanusiaan, harus memiliki political will bukan sekedar janji, status dan instruksi di media sosial, tagline, ataupun propaganda lewat buzzer/influencer.

Bila ada political will untuk mengendalikan pandemi, maka penanganannya juga harus dipercayakan kepada orang yang kompeten, berintegritas dan ahli dibidangnya, bukan sebaliknya. Kebijakan untuk menangani pandemi Covid-19 harus berdasarkan sains bukan kepentingan politik. Melibatkan saintis yang jernih bukan saintis yang mengadaikan ilmu dan integritasnya. Kalau tidak, bangsa Indonesia akan terus seperti sekarang yaitu salah urus. Dampaknya seperti yang sering kita dengar dan lihat, kebijakan dan pernyataan yang muncul dari pemerintah kerap keliru, tidak sinkron dan membingungkan. Istilahnya, yang gatal tangan tapi yang digaruk kaki. Lebih anehnya lagi, vaksin sudah menjadi bahan politisasi bagi para pemimpin.

Baru- baru ini, Menteri Kesehatan, yaitu Terawan Agus Putranto kembali populer di jagat maya. Penyebabnya adalah talkshow Mata Najwa yang bertajuk Menanti Terawan. Najwa Shihab selaku host, mewancarai sebuah kursi kosong yang semestinya diduduki oleh Terawan. Efek dari satir dan sarkasme yang dimainkan Najwa Shihab, muncul kembali desakan agar Terawan mengundurkan diri atau dipecat oleh Jokowi. Tetapi pertanyaan yang patut kita renungkan adalah apakah bottleneck dari buruknya penanganan pagebluk Covid-19 di Indonesia selama ini hanya Terawan saja?. Kedua, setelah 7 bulan dihantam oleh virus korona, apakah mundurnya Terawan dari kursi Menteri Kesehatan RI masih relevan?. Yang ketiga, apakah dengan digantinya Terawan sebagai Menteri Kesehatan dengan yang baru akan menjamin penanganan pandemi menjadi baik?.

Dalam artikelnya di Jurnal Foreign Affairs (Juli/Agustus 2020) yang dikutip oleh Harian Kompas, tanggal 11 September 2020 yang lalu, Francis Fukuyama dari Freeman Spogli for International Studies at Stanford University menyebutkan bahwa faktor yang menentukan keberhasilan pandemi Covid-19 ada tiga, yaitu kapasitas negara, kepercayaan sosial dan kepemimpinan. Francis Fukuyama menambahkan keberhasilan suatu negara mengendalikan pandemi tidak ada korelasinya dengan tipe rezim di negara itu, entah itu diktator atau demokratis.

Tiga faktor itu jugalah yang membedakan lockdown di Australia dan Selandia Baru berhasil, sedangkan lockdown di India dan Peru berjalan dengan buruk. Negara punya peran yang penting dan vital, yaitu kepemimpinan dan kapasitas negara itu sendiri. Kalau dua hal ini dijalankan dengan baik, kepercayaan dari masyarakat terhadap pemerintah akan muncul dan terjaga. Tiga faktor tersebut juga sangat menentukan meskipun negara tidak menerapkan lockdown. Contohnya adalah Swedia, Singapura dan Norwegia. Tiga negara itu cukup berhasil menangani pandemi tanpa lockdown. Kuncinya ada pada tiga faktor yang disebutkan oleh Francis Fukuyama, apapun kebijakan negara dalam menangani pagebluk. Namun sayangnya, di Indonesia hal itu ibarat jauh panggang dari api.

Para pemimpin yang mengutamakan kemanusiaan akan mampu mengendalikan libido kekuasaannya. Itulah negarawan. Orang yang seperti itu tidak mau tersandera oleh kepentingan pendukungnya. Ia tidak akan mengutamakan stabilitas politik. Lain hal kalau pemimpin itu sebatas politisi. Sastrawan Agus Noor, dalam Lelucon Para Koruptor menulis demikian; Bila pemimpin itu politikus, ia akan menyelesaikan masalah dengan cara membuat masalah baru, agar masalah lama tertutupi.

Para pemimpin adalah negarawan kalau ia memberi keteladanan dan tidak menyalahkan rakyat atas kegagalannya. Ia pasti paham bahwa disiplin 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak) harus diimbangi dengan disiplin untuk melakukan 3T (testing, tracing, treatment). Jika penanganan pagebluk Covid-19 masih terus ngawur dan tak jelas, jangan harap ekonomi akan pulih dengan cepat. Ekonom M. Chatib Basri dalam tulisannya di Harian Kompas pada 25 September 2020 mengatakan bahwa pemulihan ekonomi mungkin akan berbentuk huruf U bukan V bila pandemi belum terkendali dengan baik.

Seorang negarawan akan mempertaruhkan reputasi politiknya dengan melakukan apapun agar pagebluk terkendali dengan baik sehingga rakyat bisa aman, sehat dan ekonomi bisa kembali membaik. Itulah politik untuk kemanusiaan.

Komentar