Pandemi dan Selubung yang Terungkap

 Dislaimer : tulisan ini merupakan repost dari tulisan saya di kompasiana


Sumber : kompas.com



Pandemi korona yang terjadi saat ini telah menelanjangi banyak hal. Topeng yang selama ini digunakan untuk menutupi “wajah” yang asli, sudah tidak berguna. Kepalsuan menjadi pemandangan yang nyata. Virus yang tak kasat mata ini telah menunjukkan sistem yang rusak secara vulgar.

Menurut hasil penelitian, virus SARS Cov-2 yang menyebabkan korona, berasal dari hewan liar yang diperdagangkan di Wuhan, Tiongkok. Sebenarnya, ini bukanlah hal yang baru. Beberapa masyarakat, khususnya di Asia, gemar mengonsumsi hewan- hewan yang “aneh”. Bahkan, beberapa diantaranya adalah hewan yang dilindungi. Tak hanya di Tiongkok, negara- negara seperti Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, bahkan beberapa daerah di Indonesia punya kegemaran untuk mengolah hewan- hewan eksotis menjadi menu makanan.

Kebiasaan buruk tersebut menghasilkan konsekuensi yang mematikan. Ekosistem alam menjadi tidak seimbang. Virus yang seharusnya berada di alam liar telah berpindah ke dunia manusia. Sejarah mencatat, virus SARS, HIV, MERS, Ebola dan lainnya, juga bermula dari kerusakan alam. Jauh sebelum pandemi terjadi, para ilmuwan sudah memperingatkan akan dampak yang buruk, bila alam terus menerus dieksploitasi dan hewan liar diperdagangkan. Namun, peringatan itu selalu dihiraukan. Watak manusia ini mengingatkan kita dengan pernyataan filsuf George Santayana; orang yang tidak pernah belajar dari masa lalu akan mengulanginya.

Wabah yang kita alami sekarang, juga semakin membuka kebobrokan pemimpin atau pejabat negara. Banyak pemimpin negara menghadapi pandemi dengan mengabaikan sains. Indonesia adalah salah satu contohnya. Di awal- awal wabah pemerintah malah menggunakan jasa influencer untuk menangkal dampak korona terhadap pariwisata. Pemimpin kita menyangkal dengan sikap yang meremehkan covid-19. Lebih menyedihkan lagi, pemimpin kita ada yang menggunakan sentimen agama untuk meredam kepanikan masyarakat.  Contoh- contoh tersebut menunjukkan kepada kita bahwa para pemimpin kita tidak mengerti dengan persoalan yang sedang terjadi dan tidak paham bagaimana menanganinya. Dengan kata lain, pemimpin negeri ini anti-sains.

Selain kepemimpinan yang anti sains, covid-19 juga menunjukkan kepada kita, bahwa para pemimpin di negeri ini bekerja hanya untuk kepentingan sendiri. Daripada menerapkan UU karantina Kesehatan, pemerintah malah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dengan keputusan tersebut, negara lepas tangan untuk menanggung biaya hidup rakyat selama pandemi. Anehnya, korporasi BUMN mendapat subsidi yang fantastis. Kalaupun ada bantuan sosial, penanganannya amburadul dan kacau. Tidak ada sinergi dan kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dan daerah.

Dana 5,6 triliun rupiah malah digunakan untuk kursus- kursus online yang kurang bermanfaat. Malahan, proyek tersebut diduga memperkaya kroni- kroni penguasa. Tidak cukup dengan itu, para pemimpin malah bernafsu untuk menyelesaikan undang- undang yang bermasalah dan tidak transparan, seperti Omnibus Law dan Minerba. Mereka melakukannya untuk melanggengkan kepentingan oligarki. BPJS Kesehatan yang sebenarnya sangat dibutuhkan rakyat dalam kondisi pandemi, justru dinaikkan iurannya oleh pemerintah dengan alasan untuk menaikkan pendapatan negara.

Perilaku pemimpin tanah air ini, mengingatkan kita bagaimana PEMILU beberapa waktu yang lalu. PEMILU yang tidak hanya menghabiskan dana yang besar dan menimbulkan polarisasi ditengah masyarakat, tetapi juga menghasilkan pemimpin eksekutif dan legislatif yang bertolak belakang dengan janji manis mereka saat kampanye. Wabah ini menujukkan wajah sesungguhnya politisi di negeri ini. Jumlah kematian akibat covid-19 yang terus meningkat setiap hari, tidak juga membuat mereka membuat keputusan yang tepat dan cepat. Keputusan yang diambil masih saja keliru dan tak jelas.

Disisi lain, Indonesia adalah negara yang relijius. Disebut relijius karena sebagian besar orang Indonesia beragama, suka memakai atribut agama dan ritus keagamaan. Tetapi, pandemi ini membuka selubung kemunafikan orang- orang beragama. Sebelum pandemi, harga masker sangat terjangkau, akan tetapi secara mendadak harga masker naik 3-5 kali lipat. Dan yang membuat kita mengelus dada, keberadaan masker sempat langka dalam beberapa waktu. Inilah wajah rakyat dari negara relijius. Semestinya kita malu dengan orang Jepang yang justru menurunkan harga masker ketika awal- awal pandemi. Kita tidak memiliki empati sedikitpun. Kemanusiaan yang adil dan beradab hanya sebatas hafalan dan retorika.

Kemunafikan orang- orang beragama semakin diperlihatkan saat tempat- tempat ibadah menjadi klaster penyebaran virus SARS Cov-2. Beberapa gereja, masjid dan seminari telah menyumbang orang positif korona yang tidak sedikit.  Bisa jadi, hal itu terjadi karena ada rohaniwan atau pemuka agama yang sembrono mengatakan untuk takut hanya kepada Tuhan dan jangan takut kepada virus. Pernyataan ini sungguh menyesatkan dan berbahaya. Tidak mencerminkan bagaimana seharusnya ber-Tuhan.  Karena virus tidak peduli dengan agama yang dianut manusia, ia akan menginfeksi siapapun.

Pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya begitu dibanggakan ternyata menyisakan jurang yang semakin jelas dan lebar antara orang kaya dan miskin, ketika suatu patogen menjadi wabah. Pertumbuhan ekonomi hanya hebat diatas kertas, tetapi cacat dalam realitanya. Orang miskin menjadi kaum yang sangat terpukul. Tidak cukup dengan berkurang atau hilangnya pendapatan, akses kesehatanpun semakin diluar jangkauan. Bertambah sulit karena banyak dari mereka terkena pemutusan hubungan kerja, karena perusahaan tempat mereka bekerja dulu bangkrut atau tutup. Mereka terpaksa harus keluar rumah dan menghadapi bahaya virus demi menyambung hidup. Sebaliknya, efek pandemi ini tidak berpengaruh besar kepada orang- orang tajir. Mereka masih memiliki tabungan yang cukup dan keistimewaan dalam mengakses layanan kesehatan.

Selain dibidang kesehatan, pendidikan dimasa pandemi semakin tidak terjangkau oleh kaum papa. Konsep belajar daring sulit dijalani oleh anak- anak yang tinggal di daerah yang memiliki keterbatasan secara ekonomi dan infrastruktur internet. Sejak kemerdekaan hingga sekarang, negara belum sepenuhnya mampu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sistem pendidikan yang ada, semakin menunjukkan rupa yang buruk dunia pendidikan kita. Buah pendidikan itu jugalah yang melahirkan banyak orang Indonesia yang memiliki literasi sains yang rendah. Tidak sedikit dari kita yang lebih menyukai teori konspirasi dan informasi hoax tentang pandemi covid-19.

Alam telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia. Sayangnya, manusia telah dirasuki oleh keserakahan. Seperti kata Friedrich Nietzsche, dunia ini indah tapi memiliki satu penyakit, yaitu manusia. Manusia harus menanggung konsekuensi atas ketamakannya. Dan kita berusaha menutupi bau busuk itu dengan berbagai cara. Bau busuk disembunyikan dengan cara apapun akan tetap bau. Sehebat apapun keburukan ditutup- tutupi pasti akan kelihatan. Tidak ada gunanya kemunafikan dan kepura- puraan. Itu hanya memberi rasa aman palsu. Inilah pelajaran yang amat berharga bagi kita semua.

Komentar