Ketika Ahok Bicara Pertamina dan Kadrun

 Disclaimer : Tulisan ini merupakan repost dari tulisan saya di Kompasiana


Karikatur Ahok. Sumber : cnbcindonesia.com

Bukan Ahok namanya kalau tidak menimbulkan kontroversi. Sejak duet dengan Jokowi ketika memimpin DKI Jakarta, Ahok sering menjadi media darling. Sepak terjangnya membuat ia disukai dan dibenci. Kehadirannya dalam gelanggang politik nasional telah menguak aib politik Indonesia yang tidak menjunjung kebhinekaan.

Ahok sering dianggap sebagai antitesis politisi Indonesia pada umumnya. Dia dikenal sebagai sosok yang tidak mau kompromi dengan sesuatu hal yang bertentangan dengan prinsipnya. Sikapnya ini kembali diperlihatkannya, ketika ia kembali menjadi pejabat publik, yaitu sebagai Komisaris Pertamina.

Ketika dipilih menjadi Komisaris Pertamina, tidak sedikit yang menentangnya. Kedekatannya dengan Jokowi dinilai sebagai faktor X yang membuat Ahok menduduki posisi Komisaris Pertamina. Karena hal itu juga, banyak orang yang mencibir dan meremehkan Ahok.

Sudah bukan rahasia lagi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah sapi perah bagi oknum politisi dan pengusaha. BUMN merupakan kue kekuasaan yang dibagi- bagi kepada mereka yang telah berjasa membantu tokoh yang didukungnya berkuasa. BUMN juga telah bermetamorfosa menjadi Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bagi para mafia.

Pertamina merupakan salah satu BUMN yang menjadi incaran para mafia. Sayangnya, sampai sekarang praktik menjadikan BUMN sebagai sapi perah dan ATM masih terjadi dan belum tuntas diselesaikan meskipun penguasa di republik ini silih berganti.

Di era Jokowi, mungkin sudah dilakukan berbagai cara untuk mereformasi tata kelola minyak dan gas (migas), agar tidak dijadikan sebagai bancakan bagi mafia. Setidaknya, sudah tiga cara yang dilakukan Jokowi. Yang pertama adalah membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi yang dipimpin oleh Ekonom senior, Faisal Basri.

Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini dibentuk pada tahun 2014, awal pemerintahan Jokowi. Salah satu rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas adalah membubarkan Pertamina Energy Trading Ltd (Petral), yang menjadi salah satu sarang mafia migas. Rekomendasi itu disetujui oleh Jokowi dan Petral resmi dibubarkan oleh Jokowi pada tahun 2015. Apakah mafia migas sudah hilang? Tentu saja belum.

Strategi kedua yang dipakai Jokowi adalah dengan menjadikan Erick Thohir sebagai Menteri BUMN. Terlepas dari anggapan banyak pengamat bahwa keputusan Jokowi sebagai praktik balas budi, Erick Thohir merupakan sosok profesional yang berpengalaman dalam mengelola korporasi. Salah satu hasil kinerja Erick Thohir yang patut diapresiasi adalah memecat Direktur Utama Garuda Indonesia yang terlibat skandal penyelundupan sepeda Brompton dan motor Harley Davidson.

Ditengah semangatnya Erick Thohir ingin mereformasi tata kelola perusahaan pelat merah, muncul kabar bahwa relawan dan tim sukses Jokowi meminta jatah jabatan atau posisi di perusahan pelat merah. Menurut pengakuan Adian Napitupulu, Jokowi sendirilah yang meminta nama relawan atau tim sukses kepadanya. Kalau ini benar, maka tepat apa yang ditulis oleh Ben Bland dalam bukunya bahwa Jokowi adalah sosok yang kontradiksi. Ini menunjukkan bahwa Jokowi tersandera oleh kepentingan orang- orang yang berada disekitarnya.

Erick Thohir menyikapi permintaan Adian Napitupulu dengan “curhat” kepada media. Sepertinya, ia tidak senang dengan cara membagikan jabatan di BUMN kepada tim sukses atau relawan. Sikap Erick Thohir tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah curhat Erick Thohir kepada media Tempo adalah sinyal peringatan kepada mereka yang memanfaatkan Jokowi untuk meminta jatah posisi di BUMN?. Atau apakah Erick Thohir membeberkan aib itu untuk memberi sinyal kepada Jokowi untuk tidak tersandera oleh kepentingan tim sukses atau relawannya?.

Barangkali sang Menteri BUMN sudah menduga praktik bagi- bagi jabatan di BUMN akan terjadi. Erick Thohir mungkin sudah paham bahwa BUMN adalah lorong yang sangat gelap dan mencekam. Ia butuh teman untuk melawan mafia ditubuh BUMN. Mungkin itu salah satu pertimbangannya menempatkan Ahok di Pertamina.

Bisa jadi, Ahok juga adalah senjata Jokowi untuk memberantas mafia migas. Mungkin Jokowi sadar bahwa ia tidak bisa leluasa karena tersandera oleh kepentingan orang- orang yang mendukungnya. Bisa jadi, Jokowi menyadari bahwa dilingkarannya ada mafia migas itu sendiri. Oleh karena itu, Jokowi dan Erick Thohir membutuhkan sosok yang tidak mau kompromi dan blak- blakan seperti Ahok.

Benar saja. Tak lama setelah dilantik, Ahok muncul di permukaan dengan ciri khasnya. Dia menceritakan sisi gelap kementerian BUMN dan Pertamina melalui platform Youtube. Seperti biasa, sebagai pejabat, Ahok buruk dalam komunikasi publik. Apa yang keluar dari mulutnya menimbulkan kegaduhan.

Kebobrokan tata kelola di Kementerian BUMN dan Pertamina sudah sangat akut, sehingga Ahok  memberikan usul untuk membubarkan Kementerian BUMN dan membentuk Super Holding. Menurutnya, dengan cara itu orang yang menjabat di perusahaan pelat merah bersih dari orang- orang titipan dan partisan.

Ahok memang harus dikritik, karena cara komunikasinya yang tidak etis sebagai bagian dari Pertamina. Alangkah baiknya bila Ahok menyampaikankan uneg- unegnya secara internal melalui Komisaris dan Direksi Pertamina. Atau apakah Ahok sudah mencobanya tetapi menemui jalan buntu?. Atau apakah Ahok merasa tidak perlu dan tidak ada gunanya menyampaikannya ke internal Pertamina dan BUMN, karena ia menduga ada oknum internal yang juga terlibat?.

Sulit untuk meragukan transparansi dan konsistensi seorang Ahok. Apakah Ahok menceritakan kejelekan Pertamina dan Kementerian BUMN untuk menunjukkan sisi kepahlawanannya?. Mungkin saja. Tetapi, Ahok punya hak untuk berbicara, apalagi membuka selubung dalam tubuh Kementerian BUMN dan Pertamina.

Setelah semua pernyataannya di media sosial tentang Pertamina dan kementerian BUMN, ada satu pernyataan dari Ahok yang tidak pantas diucapkan olehnya sebagai pejabat publik. Keluarnya istilah kadrun atau kadal gurun dari mulut Ahok adalah kekeliruan yang sangat serius.

Ucapannya itu tidak hanya kontroversi tetapi memalukan. Apakah Ahok lupa bahwa polarisasi dan perpecahan yang masih ada ditengah masyarakat karena pilihan politik semakin subur karena stigmatisasi?. Saat ini nasionalisme bangsa sangat sempit dan diukur dengan cap kadrun, SJW, cebong dan kampret.

Ahok telah membuat dirinya sekelas Denny Siregar yang menyebut ada taliban di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ahok lupa bahwa impiannya masuk politik untuk mewujudkan keadilan sosial, tidak mungkin dan tidak ada artinya tanpa adanya persatuan bangsa. Ahok tidak menyadari bahwa ia adalah pejabat publik bagi seluruh rakyat Indonesia bukan pejabat untuk kelompok yang antikadrun.

Sekarang ini kita benar- benar telah kehilangan Pancasila sebagai pedoman dalam berbangsa dan bernegara. Ada yang menuduh kelompok intoleran (kadrun) yang merusak Indonesia, padahal mereka yang mengaku pancasilais pun turut merobek keberagaman Indonesia. Kelompok yang anti Jokowi sama buruknya dengan kelompok pendukung fanatik Jokowi.

Namun, bagaimanapun juga mereka semua adalah bagian dari Indonesia. Ini yang tidak disadari dan diterima oleh mereka. Sampai sekarang belum ada pemimpin kita yang mau mendamaikan mereka dalam bingkai persatuan Indonesia. Malah sebaliknya, pemimpin kita membiarkan mereka saling caki maki dan menghina di media sosial.

Ahok mestinya menyadari bahwa memberikan stigma kadrun kepada orang yang membencinya atau kelompok intoleran (istilah kadrun memang disematkan untuk itu) sama saja memadamkan api dengan bensin. Tidak menyelesaikan masalah, malah semakin membesarkan api yang membakar rumah Indonesia. Semoga Ahok menyadari hal itu. Dan semoga Jokowi dan Erick Thohir benar- benar serius dan konsisten mereformasi tata kelola BUMN. Selain itu, kita berharap sikap Ahok yang menyebut kadrun bukan representasi dari pejabat pemerintahan atau pemimpin kita. Kalau tidak, maka bangsa ini benar- benar telah kehilangan modal penting untuk menjadi bangsa yang besar, yaitu persatuan.

Komentar