Recehan : Selera dan Kualitas

 Disclaimer : tulisan ini merupakan repost dari tulisan saya di platform kompasiana


Ilustrasi Recehan. Sumber : republika.co.id

 

Di era media sosial seperti sekarang ini, tidak terlalu sulit suatu peristiwa menjadi tenar atau viral. Salah satu yang viral, beberapa waktu yang lalu adalah video prank seorang Youtuber asal Bandung terhadap transpuan. Video prank yang dinilai melecehkan dan merendahkan transpuan tersebut menuai kecaman banyak pihak. Tak menunggu lama, pihak polisi menangkap sang Youtuber dan menjebloskannnya ke dalam penjara. Apakah masalah selesai? Belum tentu. Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa video recehan seperti prank tersebut bisa viral? Dan mengapa konten- konten sejenis itu sering dijadikan bahan atau konten di media sosial?.

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, ada baiknya pengertian prank perlu dipahami. Kata “prank” berasal dari bahasa Inggris. Sejauh ini belum ada terjemahan kata prank dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). Menurut kamus Oxford; prank adalah kata kerja, yang dilakukan sebagai trik atau tipuan untuk seseorang sebagai candaan atau olok- olok. Kalau mau jujur, tayangan televisi nasional dan konten media sosial saat ini sudah sering menampilkan konten- konten seperti prank atau mendekati prank. Lihat saja acara Pesbuker, Akademi Dangdut, video- video Youtuber Indonesia dan lain sebagainya. Kebanyakan sifatnya melecehkan ataupun merendahkan orang lain. Mengapa konten- konten yang seperti itu cukup banyak dan laris?. Karena, selera sebagian besar orang Indonesia masih dilevel recehan. Disebut recehan karena tidak edukatif, dangkal, ringan, kurang bermutu tetapi berisik.

Manusia pada umumnya suka hiburan atau sesuatu hal yang membuat dirinya tertawa dan terhibur. Tidak ada yang salah dengan itu. Sayangnya, yang demikian kerap tidak memperhatikan nilai etika, edukasi dan estetika lagi. Bak gayung bersambut, demi menaikkan rating dan keuntungan finansial, media dan kreator konten banyak memproduksi atau membuat konten- konten receh untuk hiburan masyarakat.

Secara tidak langsung, kerja sama masyarakat- yang suka recehan- dengan industri hiburan yang opurtunis dan pragmatis telah melahirkan tidak sedikit “monster” ditengah masyarakat. Masyarakat dan industri hiburan yang membuat Youtuber asal Bandung sedemikian rupa dan populer. Masyarakat dan industri hiburan jugalah yang menghakiminya. Itulah yang terjadi saat ini. Dan bukan hanya acara tv, konten media sosial ataupun film, bahkan bacaan dan topik pembicaraan sehari- hari kebanyakan orang Indonesia juga masih dilevel recehan. Orang Indonesia masih banyak yang suka membaca tulisan/buku yang konspiratif, berisi hoax dan sejenisnya. Dan sebagian besar orang Indonesia juga lebih tertarik bila berbicara ataupun diskusi tentang topik- topik yang ringan dan dangkal. Kalaupun berbicara atau berdiskusi tentang hal yang serius dan dalam, hanya sepintas lalu saja.

Kebiasaan lain dari sebagian orang Indonesia yaitu  lebih suka menonton acara tv seperti sinetron azab, reality show uya kuya dibandingkan National Geographic. Orang Indonesia lebih suka menonton video youtube Ria Ricis dibandingkan video kuliah umum atau video tentang sains. Ini merupakan problem besar bangsa Indonesia. Mungkinkah hal ini disebabkan oleh sistem pendidikan yang buruk?. Suka atau tidak suka, selera dan kualitas orang Indonesia seperti sekarang merupakan buah dari sistem pendidikan yang ada. Bila manusia Indonesia sedini mungkin dididik untuk menggunakan otaknya, berpikir kritis dan dibiasakan untuk membaca, menonton sesuatu hal yang edukatif dan bermutu, maka kemungkinan besar tidak akan suka dengan konten receh yang melecehkan orang lain. Wajar saja bila kualitas literasi dan numerasi bangsa Indonesia sangat rendah. Karena, untuk menonton acara pesbuker seseorang tidak perlu berpikir. Pengetahuanpun tidak bertambah. Tetapi untuk menonton acara di NatGeo, otak manusia dituntut untuk berpikir, berimajinasi dan menambah pengetahuan. Itu bagian yang sulit dan kebanyakan orang Indonesia tidak mau mengalaminya.

Kualitas seseorang dapat diukur dari bacaan, tontonan, dan topik yang sering dibicarakan. “Monster” yang menggangu akan berkurang jika selera dan kualitas manusianya diubah. Bila 40%-50% saja populasi orang Indonesia meningkat -selera dan kualitasnya, maka bangsa ini akan mengalami kemajuan. Peradaban manusia saat ini banyak dibentuk oleh sains dan teknologi. Bayangkan bagaimana masa depan bangsa Indonesia, bila anak- anak Indonesia tidak suka sains. Bayangkan bagaimana masa depan pemimpin bangsa ini jika anak- anak lebih banyak menghabiskan waktunya main game online daripada membaca. Kebanyakan anak muda Indonesia hanya sebatas memuja K-Pop dan drama Korea tanpa tertarik mengetahui bagaimana sejarah dan perkembangan sains dan teknologi Korea Selatan.

Bagaimanapun konten recehan pasti tetap akan ada.  Karena kapitalisme bekerja seperti itu. Dan juga tidak ada salahnya menikmati konten yang receh, selama itu tidak menjadi kebiasaan, tidak membodohkan diri dan merendahkan orang lain. Apalagi, dunia saat ini lebih memuja kemasan daripada isi dan sensasi daripada esensi. Kunci untuk tidak terjebak didalamnya ada disetiap individu. Apakah mau mencemari pikiran dan hati dengan konten recehan?. Dan salah satu cara terbaik untuk merawat otak adalah dengan tidak membaca dan menonton sesuatu hal yang recehan.


Komentar