KERAPUHAN MANUSIA



Si manusia itu membaringkan tubuhnya ke sebuah pohon rindang. Tampak jelas di wajahnya, manusia itu sedang mengalami pergulatan batin. Sesekali dia memandang ke langit yang sedang menurunkan butiran- butiran air. Dia merasakan betapa malang dirinya. Beban yang ditanggungnya membuatnya putus asa.

Saat- saat yang tidak enak sedang dialami manusia itu. Lorong gelap menghampiri kehidupannya. Dia kesepian. Tidak ada yang peduli dengannya. Dia diabaikan. Tidak dianggap bahkan dilupakan. Hatinya terasa pedih dan pahit seperti mau mati. Dia mengasingkan diri dari keramaian yang dulu tempat dia merasa nyaman.

Dia “menyesali” pilihan- pilihan yang telah diambilnya. Karena keberuntungan tidak memihaknya. Manusia itu semakin tenggelam dan terhanyut dalam pusaran kegagalan. Gelombang bergulung- gulung menghantam jiwanya yang rapuh. Dia berjalan dalam jalan yang sepi.

Manusia yang hina itu sepertinya telah membuat banyak kesalahan. Kegagalan dan kegagalan selalu saja menjadi kemenangannya. Dia tidak percaya nasib, tetapi nasib buruk menjadi temannya. Dia tidak tahu kapan kesialan tidak lagi datang. Bahkan ia pun tidak tahu, apakah ada jalan keluar dari semua misteri ini.

Manusia itu menghela nafasnya dalam- dalam, seperti tidak ada harapan. Itulah dia sesungguhnya – ia sangat rapuh. Ketika tidak kuat lagi, dia menangis dan menangis. Meskipun dia kelihatan tegar, sesungguhnya ia sudah tidak sanggup lagi.

Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Jiwanya tertekan dan hatinya gelisah. Manusia itu menyimpan kepedihan dalam hatinya. Dalam kesunyian, dia membisu. Gonjang- ganjing dan bisik- bisik sekitarnya hanyalah angin lalu baginya.

Tidak ada yang bisa diperbuatnya. Ia tidak punya apa- apa. Selain harapan akan adanya seberkas cahaya dalam kegelapan. Meskipun tidak tahu kapan itu akan muncul, tapi ia akan menanti, menanti dan menanti sampai tiba waktu- Nya.

Komentar