KONTROVERSI KURIKULUM “BERPIKIR” 2013



Beberapa saat yang lalu, kurikulum pendidikan 2013 secara resmi disosialisaikan dan akan diimplementasikan ke seluruh Indonesia. Termasuk kurikulum 2013, dalam 10 tahun terakhir, kurikulum pendidikan di Indonesia berganti sebanyak 3 kali. Pertama, tahun 2004 KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) digunakan sebagai acuan pendidikan, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) pada tahun 2006. Yang menjadi alasan pergantian KTSP ke Kurikulum 2013 menurut kementrian pendidikan adalah karena tuntutan zaman. Karena zaman berubah, maka kurikulum harus lebih berbasis pada penguatan penalaran, bukan lagi hafalan semata. Hal ini mengacu pada survei Trends in International Math and Science oleh Global Institute pada tahun 2007 yang menyimpulkan hanya 5 persen siswa Indonesia yang mampu mengerjakan soal berkategori tinggi yang memerlukan penalaran dan 78 persen siswa Indonesia dapat mengerjakan soal berkategori rendah yang hanya memerlukan hafalan.
Perubahan kurikulum pendidikan untuk kesekian kalinya ini, banyak menimbulkan pro dan kontra. Patut dipertanyakan apakah kurikulum yang “super” ini mampu meningkatkan kualitas pendidikan?. Anggaran yang dibutuhkanpun tidak kalah fantastis yaitu sebesar 2,4 triliun rupiah. Benarkah pergantian kurikulum “berpikir” ini mampu menolong para siswa untuk kreatif?. Ada beberapa kejanggalan Kurikulum 2013 ini :
       1.      Anggaran 2,4 triliun rupiah yang tidak masuk akal. Berdasarkan APBN 2013, pemerintah mengalokasikan Rp 684,4 miliar untuk kurikulum 2013, namun nyatanya terjadi perubahan yaitu bertambah Rp 611 miliar kemudian meningkat menjadi Rp 1,45 triliun sebelum disahkan menjadi Rp 2,4 triliun. Transparasi biaya tersebut patut dipertanyakan. Bisa saja ini menjadi proyek bagi pejabat di kemendiknas untuk memperkaya diri demi 2014.
       2.      Kurikulum yang menuntut nalar siswa ini semakin memperlebar jurang kesenjangan antara yang mampu dan tidak mampu. Metode belajar mengajar kurikulum baru ini  “hanya” untuk siswa- siswa yang bersekolah di sekolah yang mapan dan sangat sulit bahkan tidak bisa dilakukan di sekolah- sekolah pedesaan yang minim sarana dan prasarana

Jika dipikirkan secara serius, akar permasalahan menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia sebenarnya bukan terletak pada kurikulumnya tetapi SDM tenaga pendidik, sarana prasarana pendidikan dan pendidikan yang tidak merata antara di perkotaan dan pedesaan.  Dengan dana sebesar Rp 2,4 triliun, sangat tepat jika dana tersebut digunakan untuk meningkatkan skill para guru, memperbaiki dan memperbanyak sarana dan prasarana belajar mengajar dan pemberiaan sekolah gratis bagi siswa- siswa yang tidak mampu secara ekonomi.  Kalau mau jujur, anak- anak Indonesia tidak kalah pintar dibandingkan dengan anak- anak sekolah di negara lain. Buktinya beberapa siswa kita setiap tahunnya memenangkan kompetisi internasional seperti olimpiade sains dan lainnya.
Semoga saja kurikulum 2013 ini tidak membuat “nalar” siswa kita seperti para pejabat yang berjiwa KKN tetapi kritis dan berani melawan ketidakbenaran untuk masa depan Indonesia yang baik.

Salam.

Komentar