Menikmati hidup
tidak akan puas jika kita tidak mengucap syukur atas segala hal yang Tuhan
berikan. Sifat manusia yang tidak pernah puas dan tidak pernah “berhenti” untuk
mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang lain, telah merusak dan membuat
manusia itu lupa akan dirinya sendiri. Manusia lupa bahwa segala yang ada di dunia
ini dan yang mereka dapatkan adalah pemberian dan anugerah semata dari Tuhan
yang menciptakan mereka.
Hidup tidak akan pernah puas jika
terus melihat dan terus menginginkan sesuatu yang ingin sama dengan orang yang “diatasnya”.
Mereka lupa bahwa “dibawah” mereka, masih banyak yang berkekurangan dan tidak
bisa menikmati hidup seperti mereka. Hal yang aku alami tidak berbeda jauh
dengan mereka yang “rakus” dan “haus” akan segala hal. Aku merasa tidak puas
dan tidak cukup terhadap hidup, yang sudah Tuhan ciptakan begitu indah dan
penuh rancangan yang baik.
Pernah dan itu sering terjadi, aku
berpikir dan merenungkan hal yang sangat tidak pantas, aku tidak puas dengan orang
tua yang Tuhan izinkan melahirkan, merawat, dan membesarkan aku dengan penuh
kasih sayang. Hal itu terjadi ketika ada badai dan topan menerjang keluarga ku.
Saat itu aku menangis, aku mengeluh sama Tuhan: “Tuhan mengapa aku lahir di keluarga ini?”, “mengapa aku tidak lahir di
keluarga yang bahagia?”. Kejadian itu sungguh memalukan dan tidak pantas
aku ucapkan. Aku tertegun sejenak dan merenungkan kebaikan Tuhan akan hidupku. Hal
“aneh” dan itu membuat aku tersadar dari kebodohanku datang: “Mengapa aku mengeluh dengan orang tua yang
sudah Tuhan berikan kepadaku?, di tempat lain masih banyak diantara mereka yang
tidak tahu siapa orang tua mereka?, bahkan orang tua mereka sudah ada yang meninggal
disaat mereka kecil”. Aku terdiam dengan apa yang aku rasakan saat itu, aku
merenung dan menangis. Aku sangat bodoh dan tidak tahu diri. Aku memarahi
diriku yang tidak tahu berterima kasih atas anugerah-Nya. Aku mohon ampun
kepada-Nya atas segala hal yang buruk yang telah aku pikirkan dan ucapkan
tentang orang tua ku.
Hal lain yang tidak pernah puas
dengan yang Dia berikan adalah nilai akademik. Setiap kali aku menerima rapor
atau KRS, seringkali aku mengeluh akan nilai yang telah aku dapatkan. Aku
menggerutu : “ Mengapa nilai ku 70, orang
lain bisa 80?, mengapa aku dapat E dan C sedangkan temanku bisa dapat A atau B
padahal dia mencontek dan tidak bisa apa- apa?, mengapa, mengapa dan mengapa
Tuhan?”. Aku tidak pernah memperhatikan dan melihat teman- temanku yang
tidak beruntung dariku. Mata ku sudah dibutakan dengan hal- hal yang membuat
aku lupa diri dan mengucap syukur. Aku selalu melihat teman- teman ku yang
berada diatas ku. Aku tidak sadar bahwa masih ada temanku yang mendapatkan nilai
dibawah ku dan masih banyak mereka yang tidak bisa sekolah dan kuliah!. Mengapa
aku berpikiran bahwa Tuhan itu tidak adil dan tidak baik?. Aku hanyalah manusia
yang tidak pernah puas dan tidak pernah mengucap syukur atas apa yang Tuhan
berikan. Aku tersadar akan kegilaan ku terhadap nilai. Aku termenung sejenak dan
merenung. Hal yang menegur dan menghajar aku adalah firman-Nya yang
menggelisahkan hatiku: “Takut akan Tuhan
adalah awal dari pengetahuan”.
Hal sepele lain yang sering aku
tidak pernah puas dengan apa yang Tuhan izinkan terjadi di dalam hidup ku
adalah makanan. Selama dua tahun yang lalu, sejak aku merasakan “nikmatnya”
menjadi anak kos. Aku sering mengalami masa yang sulit atau “kanker”. Sebagai
orang yang pemula, aku tidak bisa mengatur keuangan selama satu bulan.
Akhirnya, pada “bulan- bulan tua” demi menjaga “kelangsungan hidup”, aku pernah
dan sering makan hanya dengan indomie siang dan malam!. Sekali dua kali, hal
itu bisa aku “terima” dan maklumi, akan tetapi setelah menjadi “kebiasaan” aku
mengeluh!. Aku bergumam dalam hatiku : “Menderita
kali hidup ku ini hanya dengan makan indomie”. Aku “tidak puas” dan tidak mengucap syukur pada Tuhan
yang senantiasa setia memelihara hidupku. Aku selalu menyalahkan pemberian
Tuhan. Aku lupa bahwa masih banyak teman- temanku yang tidak bisa makan dan
menikmati enaknya makanan. Aku selalu menggerutu : “Ini tidak adil, ini tidak pantas terjadi dalam hidupku”. Hidup ini
seperti roda yang selalu berputar dan naik turun. Tidak selamanya kita hidup
enak dan dapat makanan yang lezat, tetapi ada kalanya kita “menderita” hanya
makan dengan makanan “ala kadarnya”. Tetapi aku beryukur, oleh anugerah-Nya Dia
memberiku pelajaran bahwa setiap kondisi yang aku alami aku harus mengucap
syukur pada-Nya.
Uang. Seringkali kita menganggap
uang adalah segala sesuatunya dalam hidup ini. Bahkan ada anekdot orang batak mengatakan :“Hepeng
do na mangatur negaraon”. Memang, kita tidak bisa makan tanpa uang. Kita
tidak bisa kuliah tanpa uang. Tetapi, jika kita merenungkan lebih jauh dan
dalam, siapa sebenarnya yang memberikan kita uang hasil kerja keras kita?. Tuhan!.
Ya, Dialah sumber kekayaan itu. Kita memang bekerja keras, tetapi apakah kita
bekerja hanya untuk mendapatkan uang?. Kita bekerja adalah suatu bentuk ibadah
kepada-Nya. Seringkali kali dengan hal yang berbau uang, aku selalu mengeluh. “Kiriman”
yang “terlambat” di transferlah atau uang yang yang “di transfer” sedikitlah.
Sering dan selalu aku mengeluh dengan keuangan. Aku melupakan Tuhan dan mereka
yang tidak pernah bahkan lebih sedikit dibandingkan “kiriman” aku. Lupa bahkan
melupakan mengucap syukur kepada Allah yang telah memberikan uang dengan
“gratis”. Aku beryukur kepada Allah yang telah mengubahkan hatiku akan uang. Allah
itu tidak pernah meninggalkan dan membiarkan aku “miskin”. Dia adalah Raja dan
kita adalah anak-Nya. Aku merasakan pemeliharaan Tuhan dan karya tangan-Nya
melalui orang tua ku yang masih bisa bekerja dan tercukupi secara ekonomi.
Banyak hal aku tidak pernah mengucap
syukur kepada Tuhan. Namun, melalui itu semua aku mengucap syukur kepada-Nya
yang telah membuka, memperdengarkan dan menghajar aku untuk selalu melihat bahwa
masih banyak orang yang kurang beruntung dibandingkan dengan ku.
Aku bersyukur sekali lagi kepada Dia
pemilik hidupku. Melalui kejadian- kejadian yang boleh Dia izinkan terjadi dan
aku alami, aku masih bisa merasakan tangan-Nya dan kasih-Nya yang selalu
menemani dan menyertai sepanjang usia ku.
Kesederhanaan!. Itulah yang Dia
inginkan terjadi dalam hidupku. Aku lahir dengan keluarga yang kurang berada
menjadi berada. Tetapi, Dia mengajarkan ku untuk tetap hidup sederhana dan
“merasakan” bagaimana hidup tanpa orang tua. Dia memberikan aku pelajaran yang
berarti tentang nilai dan masa depan. Kepintaran dan masa depan yang indah
sudah Dia rancang sedemikian rupa. Dialah sumber kehidupan itu. Berapapun nilai
yang Dia berikan kepada ku, aku mengucap syukur pada-Nya. Aku belajar taat dan
setia kepada-Nya: “takut akan Tuhan
adalah awal dari pengetahuan”. Mengapa aku iri dengan mereka yang
mendapatkan nilai yang tinggi dariku?. Pemberian dari-Nya adalah selalu yang
terbaik untukku, itulah yang aku pahami sehingga aku tidak pernah mengikuti SP
lagi. Bagiku, Semester Pendek (SP) adalah “ajang” untuk mencari nilai yang
tinggi tanpa ilmu pengetahuan yang tidak optimal. Nilai bukanlah “akhir” dari
yang ku cari dalam study, tetapi nilai menunjukkan seberapa jauh dan dalam
penguasaan ku terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Puas dengan nilai yang
Tuhan berikan dalam perjuangan ku untuk study.
Begitu
juga dengan keuangan!. Aku merenungkan dan merasakan bahwa uang bukanlah
segalanya. Aku belajar mengucap syukur dan puas dengan uang yang Tuhan sediakan
dan berikan melalui keringat orang tua ku. Sejak saat itulah, aku tidak pernah
lagi getol dan mengambil beasiswa
dari manapun. Biarlah mereka menyindir dan mengejek ku sebagai orang yang
sombong dan munafik. Tetapi, aku puas dengan Allah!.
Ada
suatu kejadian yang membuat aku benar- benar diuji untuk setia pada-Nya.
Seorang teman kelas ku dengan frustasinya terhadap tugas yang diberikan dosen,
dia dengan “entengnya” berniat membayar aku dengan harga yang fantastis yaitu
200 ribu rupiah. Dengan deal, aku
harus mengerjakan tugasnya sampai selesai. Dengan tegas, aku mengatakan hal itu
tidak baik dan aku pribadi dengan anugerah-Nya memampukan aku untuk menolaknya.
Hari berikutnya, dia menambah harga “tarif kerja” agar aku sedia mengerjakan
tugasnya yaitu 300 ribu rupiah. Tapi, sekali lagi syukur pada-Nya yang
menguatkan aku dan memampukan aku untuk menolaknya. Jujur, kondisi keuangan pada
saat itu lagi “kanker” tetapi aku puas dengan Allah!.
Setiap
makanan yang aku makan dan nikmati, aku mengucap syukur kepada Tuhan : “Terima kasih Tuhan aku bisa menikmati
makanan ini dan aku bersyukur pada-Mu aku masih bisa makan
hingga sekarang”. Manusia tidak
hanya hidup dari roti, tetapi firman Allah. Aku belajar memahami dan
merenungkan bahwa apa yang kita makan hanya sementara. Karena kita makan hanya
untuk sehari dan esoknya “kepuasan” itu menghilang. Jika hari ini bisa makan,
bersyukurlah bahwa Tuhan itu baik dan ingatlah itu tidak kekal. Tetapi jika
hari ini tidak bisa makan, bersyukurlah pada-Nya dan ingatlah hal itu juga
tidak kekal.
Hidup sederhana seperti Dia yang
datang ke dunia dengan kesederhanaan-Nya. Dia Raja dan Tuhan tetapi lahir di
kandang domba. Dia pencipta segalanya, tetapi Dia tidak pernah mengeluh soal
penghidupan-Nya ketika di dunia. Dia datang ke dunia dan naik ke Surga tanpa
membawa apapun karena dunia ini hanya fana. Dialah teladan kesederhanaan itu. Kita
adalah murid-Nya, sepatutnya kita sama seperti Dia : hidup sederhana!. Itulah
yang Dia inginkan agar kita serupa dan segambar dengan-Nya.
Hai jiwaku, taat dan setialah pada
Dia. Hiduplah sederhana sebagaimana Dia dengan kemuliaan dan kekayaan-Nya, Dia datang
ke dunia dengan sederhana.
Puaslah
dengan-Nya dan berhentilah mengeluh akan penghidupan mu yang fana ini !!
Komentar
Posting Komentar